Jumat, 21 Desember 2012

SEJARAH PERIKANAN

Kebijakan pertama yang menyangkut perikanan yang sempat diterapkan di Indonesia yaitu pembagian wilayah perairan Indonesia yang berdasarkan  TZMKO dan berlansung sampai tahun 1957.
Dimana dalam kebijakan TZMKO tersebut dinyatakan lebar laut Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis pantai pulau Indonesia. Namun demi kepentingan nasional Indonesia maka produk kebijakan dan hukum peninggalan Belanda ini pun diganti. Karena jika hal itu diberlakukan maka akan terjadi perpecahan atau krisis kedaulatan dikarenakan banyaknya pulau di Indonesia dengan jarak antar garis pantai beragam dan menjadi pusat jalur perdagangan dunia. Maka dalam Deklarasi Djuanda yang berintikan apa yang disebut dengan Konsepsi Nusantara, dan kemudian melahirkan UU No.4 prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.



Sejak “Deklarasi Djuanda” atau Pengumuman Pemerintah mengenai Konsepsi Nusantara itu, maka ;
a) lebar lebar laut territorial Indonesia berubah menjadi 12 mil laut yang sebelumnya 3 mil laut;
b) penetapan lebar laut territorial diukur dari garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari ujung-ujung pulau Indonesia terluar, dan sebelumnya diukur dari garis pangkal yang menggunakan garis air rendah (pasang surut) yang mengikuti liku-liku pantai masing-masing pulau Indonesia;
c) Semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari yang tadinya berupa laut territorial atau laut lepas menjadi perairan pedalaman, dimana kedaulatan negara atas perairan tersebut praktis sama dengan kedaultan negara atas daratannya. Sementara sebelum Dekrarasi Djuanda perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal disebut perairan pendalaman.

Dengan bertambahnya luas perairan dan kejelasan mengenai batas penangkapan ikan dan kejelasan jalur kapal yang berlayar melewati Indonesia, akan membuat nelayan semakin mudah dan leluasa menangkap ikan.
Bagi dunia perikanan terutama perikanan tangkap ini merupakan peluang yang sangat mengairahkan peningkatan produksi perikanan Indonesia. Ditambah lagi rakyat Indonesia makanannya kadar protein hewaninya masih sangat minim bahkan bila dibandingkan dengan negara – negara lain di dunia. Tentu seharusnya sumberdaya perikanan ini menjadi sesuatu yang tidak ternilai bagi rakyat Indonesia. Namun peluang ini dulu seakan tidak terpikirkan dan tidak memberi pengaruh berarti terhadap hasil perikanan Indonesia ke depan. Karena hasil sumberdaya dari sektor perikanan tetap minim bahkan sangat kecil bila dibandingkan dengan sumberdaya lain yang dihasilkan di Indonesia. Hal ganjil tersebut semakin terlihat jelas saat UNCLOS 1982 ditetapkan dan diikuti lahirnya Undang-Undang No. 5/1985 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), bahwa secara geografis 75% wilayah negeri ini merupakan laut.

Dan mulai sekitar tahun 1983 produksi perikanan terus meningkat secara signifikan dan tetap sebagian besar hasil perikanan dihasilkan oleh nelayan tradisional. Namun walau prosukdi perikanan meningkat pesat, daya konsumsi hasil perikanan di Indonesia tetap minim dan perhatian pemerintah terhadap sektor ini masih minim atau dapat dikatakan masih dianaktirikan. Sedangkan perikanan di negara lain di asia seperti Jepang sangat dipusingkan karena semakin menurun sejak awal era 1970an terkait dengan semakin meluasnya adopsi UNCLOS 1982 yang membatasi pergerakan perikanan lepas pantai dan samudra. Penurunan ini mendorong beberapa negara di asia seperti jepang menjalin kerjasama dengan negara lain di asia termasuk dengan Indonesia.

Namun tahun 2001 diketahui sumber daya perikanan Indonesia telah dieksploitasi secara berlebihan sehingga hasil perikanan Indonesia seakan telah mencapai batas dan tidak bisa bertambah drastis lagi. Namun bila dipikir dari penangkap ikan di Indonesia yang mayotitas masih menggunakan alat dan kapal tradisional, terasa mustahil bisa mengeksploitasi melebihi batas. Karena sumberdaya perikanan Indonesia ini seakan tidak terbatas mana mungkin dengan alat tradisional bisa habis. Maka tidak lain opsi lain pasti akibat kapal asing yang mengkeruk gila-gilaan sumberdaya perikanan Indonesia dengan kapalnya yang besar dan alat tangkapnya yang perusak yang bahkan masih berlangsung hingga saat ini.
Sektor perikanan dan kelautan mulai mendapat perhatian secara khusus lebih ketika Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan lahirnya Departemen Ekplorasi Laut dengan Keppres 136/1999, dan kemudian menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan, yang saat ini disebut Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pembentukan DKP ini didasari atas kesadaran bahwa sumberdaya darat telah terkuras secara berlebihan dan sudah mencapai batas sehingga dibutuhkan alternatif lain seperti sumberdaya perikanan yang tidak terbatas dan sangat penting untuk pemenuhan konsumsi untuk kesehatan dan kecerdasan bangsa. Lembaga inilah yang kini yang memiliki peran utama dalam pembuatan dan pelaksaan kebijakan – kebijakan yang menyangkut segala aspek dalam perikanan.
Pada tahun 2004 Lahirnya UU No. 31/2004 tentang Perikanan juga merupakan inisiatif dari DPR-RI untuk melahirkan suatu perubahan landasan hukum di bidang Perikanan. Disamping itu UU No. 31/2004 ini juga merupakan salah satu solusi strategis agar sektor perikanan mampu berperan lebih besar dalam perekonomian yang mampu mensejahterakan rakyat. Dan juga sangat diperlukan untuk kepentingan internal DKP maupun masyarakat perikanan lainnya. Penerapan UU No. 31/2004 tentang perikanan ini ditindaklanjuti dengan penetapan peraturan pemerintah yang akan disusun DKP. Kebijakan tersebut mencakup berbagai aspek dalam perikanan seperti ketentuan produksi keamanan pangan, ketentuan kapal dan alat tangkap, hal pencemaran perairan, dan dilengkapi dengan sangsi juga dendanya.
Setelah tahun milenium terlihat perikanan Indonesia sudah mengalami perkembangan yang besar terutama dalam hal kebijakan nasional maupun daerah menyangkut perikanan untuk kesejahteraan rakyat. Walau produksi perikanan tangkap seakan  sudah mencapai batas akibat overfishing tapi selalu muncul gagasan baru dan cerdas untuk peningkatan perikanan di Indonesia. Seperti kebijakan yang di keluarkan KKP pada masa kepemimpinan Fadel Muhammad dalam hal minapolitan untuk meningkatkan produksi ikan terutama melalui budidaya perikanan tidak lagi bergantung pada perikanan tangkap. Namun setelah berganti kepemimpinan KKP yaitu Sharif C. Sutardjo, kebijakan pengelolaan perikanan sepertinya menjadi terfokus pada kualitas produk perikanan tidak lagi kuantitas. Jika dipikirkan hal ini merupakan keputusan yang cerdas juga, yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah peningkatan kualitas karena memang itu yang selalu menjadi kendala dalam penjualan/perdagangan hasil perikanan dari Indonesia. Percuma hasil perikanan berlimpah tapi kebanyakan di hargai murah dan kualitasnya pun rendah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar