Kebijakan pertama yang menyangkut perikanan yang sempat diterapkan
di Indonesia yaitu pembagian wilayah perairan Indonesia yang berdasarkan
TZMKO dan berlansung sampai tahun 1957.
Dimana dalam kebijakan TZMKO
tersebut dinyatakan lebar laut Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis
pantai pulau Indonesia. Namun demi kepentingan nasional Indonesia maka
produk kebijakan dan hukum peninggalan Belanda ini pun diganti. Karena
jika hal itu diberlakukan maka akan terjadi perpecahan atau krisis
kedaulatan dikarenakan banyaknya pulau di Indonesia dengan jarak antar
garis pantai beragam dan menjadi pusat jalur perdagangan dunia. Maka
dalam Deklarasi Djuanda yang berintikan apa yang disebut dengan Konsepsi
Nusantara, dan kemudian melahirkan UU No.4 prp Tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia.
Sejak “Deklarasi Djuanda” atau Pengumuman Pemerintah mengenai Konsepsi Nusantara itu, maka ;
a) lebar lebar laut territorial Indonesia berubah menjadi 12 mil laut yang sebelumnya 3 mil laut;
b) penetapan lebar laut territorial diukur dari garis pangkal lurus
yang menghubungkan titik-titik terluar dari ujung-ujung pulau Indonesia
terluar, dan sebelumnya diukur dari garis pangkal yang menggunakan garis
air rendah (pasang surut) yang mengikuti liku-liku pantai masing-masing
pulau Indonesia;
c) Semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus
tersebut berubah statusnya dari yang tadinya berupa laut territorial
atau laut lepas menjadi perairan pedalaman, dimana kedaulatan negara
atas perairan tersebut praktis sama dengan kedaultan negara atas
daratannya. Sementara sebelum Dekrarasi Djuanda perairan yang terletak
pada sisi dalam dari garis pangkal disebut perairan pendalaman.
Dengan bertambahnya luas perairan dan kejelasan mengenai batas
penangkapan ikan dan kejelasan jalur kapal yang berlayar melewati
Indonesia, akan membuat nelayan semakin mudah dan leluasa menangkap
ikan.
Bagi dunia perikanan terutama perikanan tangkap ini merupakan peluang
yang sangat mengairahkan peningkatan produksi perikanan Indonesia.
Ditambah lagi rakyat Indonesia makanannya kadar protein hewaninya masih
sangat minim bahkan bila dibandingkan dengan negara – negara lain di
dunia. Tentu seharusnya sumberdaya perikanan ini menjadi sesuatu yang
tidak ternilai bagi rakyat Indonesia. Namun peluang ini dulu seakan
tidak terpikirkan dan tidak memberi pengaruh berarti terhadap hasil
perikanan Indonesia ke depan. Karena hasil sumberdaya dari sektor
perikanan tetap minim bahkan sangat kecil bila dibandingkan dengan
sumberdaya lain yang dihasilkan di Indonesia. Hal ganjil tersebut
semakin terlihat jelas saat UNCLOS 1982 ditetapkan dan diikuti lahirnya
Undang-Undang No. 5/1985 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI), bahwa secara geografis 75% wilayah negeri ini merupakan laut.
Dan mulai sekitar tahun 1983 produksi perikanan terus meningkat
secara signifikan dan tetap sebagian besar hasil perikanan dihasilkan
oleh nelayan tradisional. Namun walau prosukdi perikanan meningkat
pesat, daya konsumsi hasil perikanan di Indonesia tetap minim dan
perhatian pemerintah terhadap sektor ini masih minim atau dapat
dikatakan masih dianaktirikan. Sedangkan perikanan di negara lain di
asia seperti Jepang sangat dipusingkan karena semakin menurun sejak awal
era 1970an terkait dengan semakin meluasnya adopsi UNCLOS 1982 yang
membatasi pergerakan perikanan lepas pantai dan samudra. Penurunan ini
mendorong beberapa negara di asia seperti jepang menjalin kerjasama
dengan negara lain di asia termasuk dengan Indonesia.
Namun tahun 2001 diketahui sumber daya perikanan Indonesia telah
dieksploitasi secara berlebihan sehingga hasil perikanan Indonesia
seakan telah mencapai batas dan tidak bisa bertambah drastis lagi. Namun
bila dipikir dari penangkap ikan di Indonesia yang mayotitas masih
menggunakan alat dan kapal tradisional, terasa mustahil bisa
mengeksploitasi melebihi batas. Karena sumberdaya perikanan Indonesia
ini seakan tidak terbatas mana mungkin dengan alat tradisional bisa
habis. Maka tidak lain opsi lain pasti akibat kapal asing yang mengkeruk
gila-gilaan sumberdaya perikanan Indonesia dengan kapalnya yang besar
dan alat tangkapnya yang perusak yang bahkan masih berlangsung hingga
saat ini.
Sektor perikanan dan kelautan mulai mendapat perhatian secara khusus
lebih ketika Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan lahirnya Departemen
Ekplorasi Laut dengan Keppres 136/1999, dan kemudian menjadi Departemen
Kelautan dan Perikanan, yang saat ini disebut Kementrian Kelautan dan
Perikanan (KKP). Pembentukan DKP ini didasari atas kesadaran bahwa
sumberdaya darat telah terkuras secara berlebihan dan sudah mencapai
batas sehingga dibutuhkan alternatif lain seperti sumberdaya perikanan
yang tidak terbatas dan sangat penting untuk pemenuhan konsumsi untuk
kesehatan dan kecerdasan bangsa. Lembaga inilah yang kini yang memiliki
peran utama dalam pembuatan dan pelaksaan kebijakan – kebijakan yang
menyangkut segala aspek dalam perikanan.
Pada tahun 2004 Lahirnya UU No. 31/2004 tentang Perikanan juga
merupakan inisiatif dari DPR-RI untuk melahirkan suatu perubahan
landasan hukum di bidang Perikanan. Disamping itu UU No. 31/2004 ini
juga merupakan salah satu solusi strategis agar sektor perikanan mampu
berperan lebih besar dalam perekonomian yang mampu mensejahterakan
rakyat. Dan juga sangat diperlukan untuk kepentingan internal DKP maupun
masyarakat perikanan lainnya. Penerapan UU No. 31/2004 tentang
perikanan ini ditindaklanjuti dengan penetapan peraturan pemerintah yang
akan disusun DKP. Kebijakan tersebut mencakup berbagai aspek dalam
perikanan seperti ketentuan produksi keamanan pangan, ketentuan kapal
dan alat tangkap, hal pencemaran perairan, dan dilengkapi dengan sangsi
juga dendanya.
Setelah tahun milenium terlihat perikanan Indonesia sudah mengalami
perkembangan yang besar terutama dalam hal kebijakan nasional maupun
daerah menyangkut perikanan untuk kesejahteraan rakyat. Walau produksi
perikanan tangkap seakan sudah mencapai batas akibat overfishing tapi
selalu muncul gagasan baru dan cerdas untuk peningkatan perikanan di
Indonesia. Seperti kebijakan yang di keluarkan KKP pada masa
kepemimpinan Fadel Muhammad dalam hal minapolitan untuk meningkatkan
produksi ikan terutama melalui budidaya perikanan tidak lagi bergantung
pada perikanan tangkap. Namun setelah berganti kepemimpinan KKP yaitu
Sharif C. Sutardjo, kebijakan pengelolaan perikanan sepertinya menjadi
terfokus pada kualitas produk perikanan tidak lagi kuantitas. Jika
dipikirkan hal ini merupakan keputusan yang cerdas juga, yang dibutuhkan
Indonesia sekarang adalah peningkatan kualitas karena memang itu yang
selalu menjadi kendala dalam penjualan/perdagangan hasil perikanan dari
Indonesia. Percuma hasil perikanan berlimpah tapi kebanyakan di hargai
murah dan kualitasnya pun rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar